Tags » Cerpen

Dandelion

Ialah dandelion, bunga liar yang tumbuh di padang luas, terkadang di dinding tebing. Hidup di antara perdu, belukar, serta ilalang. Dirawat mentari, dibelai badai, dan dibesarkan hujan. Tak memiliki tempat bermanja, karena memang tak ada yang sudi memanjakannya. Bahkan seringkali diabaikan karena tak secantik anggrek atau seharum mawar. Demikian pula Hani, teman sebayaku. Orang-orang menjulukinya si Jalingkak. Alasannya karena ia tomboi.

Jalingkak adalah sebutan bagi perempuan yang memiliki sifat seperti lelaki. Tak ada lemah gemulai, tatapan genit, jemari lentik, aroma parfum, ataupun jalan lenggak-lenggok, yang dapat memikat para pria. Singkatnya, ketimbang feminin ia lebih cocok disebut maskulin. Kami berteman sejak ia pindah ke kampung ini. Saat itu ia, tepatnya kami, duduk di kelas dua SD. Konon ibunya meninggal saat menjadi TKW di luar negeri. Menurut kabar yang disampaikan pihak kedutaan, karena terjatuh dari atas gedung.

Sementara, ayahnya menikah lagi dan mencampakkannya. Itu sebabnya ia dirawat oleh neneknya di kampung ini. Aku masih ingat betul hari pertama melihatnya. Rambutnya pendek, kulitnya gelap, tubuhnya agak kurus, dan memakai pakaian khas anak lelaki. Aku sempat menyangka ia seorang lelaki. Terlebih, tak ada anting-anting di cuping telinganya.

Memang wajahnya terlalu manis untuk ukuran anak lelaki, tetapi, bukankah ada saja anak lelaki yang berwajah manis? Ia memerhatikanku yang tengah kesulitan memanjat pohon jambu batu di tepi kolam. Pohon itu milik ayahku. Biasanya Ayah atau Kakak yang memetikkannya untukku, namun hari ini keduanya tidak ada. Adapun aku tak pernah diizinkan memanjat. Ayah bilang terlalu berbahaya, apalagi pohon itu condong ke arah kolam. Jika terpeleset, aku akan terjatuh ke kolam.

Hani menghampiriku.
“Kamu mau jambu?” tanyanya.
Aku menoleh padanya, tetapi tak menjawab. Aku baru tahu ia seorang gadis.
“Boleh aku yang memanjat dan memetikkannya untukmu?” imbuhnya.
“Jangan sok-sokan. Aku yang lelaki saja susah, apalagi kamu. Lebih baik kamu bermain boneka atau congklak saja dengan anak perempuan lain. Itu lebih aman,” cibirku dengan nada sarkastis.
Ia tak mengindahkanku,lantas melepas sandal dan mulai memanjat. Sungguh mengejutkan, ia nyaris semahir anak kera; membuat aku yang seorang lelaki ini merasa rendah dan malu. Dalam hitungan detik, ia sudah bertengger di atas dahan tinggi dan siap memetik jambu.

“Mau yang mana?” tanyanya.
Aku terdiam sejenak. Ada rasa sesal dalam hatiku telah menyepelekannya. Tapi tampaknya ia tak marah. “Yang mana saja, yang penting matang,” jawabku rikuh. Digapainya sebuah jambu yang cukup besar, lalu ia pelintir hingga terputus dari tangkainya.

“Tangkap, ya! Bisa menangkapnya, kan?” tanyanya.
“Itu keahlianku,” jawabku.
Hani menjatuhkan jambu tersebut. Sejak saat itu, kami pun berteman.

Hani hanya tinggal berdua bersama neneknya. Ketiadaan lelaki di rumah itu membuat hampir semua pekerjaan, termasuk yang seharusnya dikerjakan oleh lelaki, dikerjakan olehnya. Sebut saja memperbaiki genting bocor, menyembelih ayam, meregas dahan pohon, menangkap ular yang masuk ke rumah, dan sebagainya. Semua itu membuatnya tumbuh menjadi wanita yang tangguh, bertenaga, mandiri, serta berani.

Sekali masa, saat kelas dua SMP, Hani berjalan di sebuah lorong kelas. Di sana terdapat sekumpulan lelaki yang tengah kongko-kongko. Tiba-tiba salah seorang lelaki iseng meremas payudaranya. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung melayangkan sebuah bogem mentah telak mengenai batang hidung si lelaki. Darah pun moncor dari lubang hidung lelaki itu.

“Kurang ajar! Kalau mau meremas, remas saja tetek ibumu!” dengus Hani sambil hendak kembali menyerang. Mungkin ia masih kesal. Beruntung orang-orang menahannya. Sejak saat itu, tak ada lagi lelaki yang berani macam-macam kepadanya. Bahkan semua yang jatuh hati kepadanya tak ada yang berani terang-teranganmengungkapkan perasaannya. Tak jarang aku dititipi salam atau surat untuk disampaikan kepadanya.

“Kenapa tidak kauberikan sendiri?” tanyaku saat seorang teman memintaku menyampaikan surat cinta kepada Hani. “Gila, bisa-bisa aku ditonjok,” jawab teman tersebut, ciut. Semua salam maupun surat cinta memang selalu kusampaikan, tetapi Hani selalu menanggapi dengan dingin dan tawar.

“Tidak adakah perasaan di hatimu untuk orang-orang yang menyimpan perasaan kepadamu?” tanyaku sekali waktu. “Ah, orang-orang itu, di dalam tempurung kepalanya hanya ada cinta. Padahal uang jajan saja masih minta kepada orang tua,” cibirnya. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menyinggung masalah perasaannya.

Adalah biasa, sedari pulang sekolah hingga lepas Asar aku menemani Hani menyusuri lembah dan padang rumput. Neneknya memiliki beberapa ekor kambing. Itu sebabnya setiap hari Hani mencari rumput. Ia tak pernah segan menyandang karung yang berisi rumput serta arit. Padahal ia telah tumbuh menjadi seorang gadis manis. Sebelum pulang, kami sering duduk di atas bukit; berbincang tentang masa lepas, masa kini, pun masa datang, sembari menikmati semilirnya angin petang.

Seumpama berbicara masa lepas, aku selalu mendapati ia bercerita tentang ayahnya yang bengis, tentang kerinduannya pada sang ibu, ataupun tentang tangisan-tangisannya saat mendapatkan pukulan dari sang ayah. “Bukan menghentikan tangisanku, Bapak malah menambahkan sebuah tamparan di pahaku,” kenangnya, “tentu saja tangisanku semakin keras.”

“Berapa usiamu saat itu?” tanyaku.
“Mungkin sekitar enam tahun.”
“Usia sedemikian kamu sudah harus mengerjakan segala pekerjaan rumah?” Hani mengangguk. Ia benar-benar serupa dandelion; dilepas induknya untuk hidup mandiri.
“Lalu bapakmu ... apa yang dikerjakannya?” “Entahlah, ia kelayapan tak tentu. Hanya pulang untuk makan dan tidur.” “Enak sekali. Sementara ibumu bekerja di luar negeri untuk menghidupi keluarga, ia malah keluyuran tak keruan.”

“Dia memang tak tahu diri.”
Agaknya ketidakadaan sosok ayah yang menyayangi itulah yang membuatnya membentuk sendiri sosok tersebut pada dirinya. Tak mudah tentu, sebab ada tapal kodrat yang harus dilewati. Mentari mulai lengser ke ufuk barat. Hani bangkit dan meraih karung penuh rumput sekaligus aritnya. Ia menoleh padaku. “Ayo pulang,” ujarnya. Aku bangkit, lalu kami pun berjalan menuruni bukit.

Akhirnya Hani bertemu seseorang yang bisa membuatnya jatuh hati. Ia adalah Sandi, seorang bos limbah dari luar kota. Keduanya bertemu saat Sandi mendatangi seorang pengepul limbah di kampung ini. Mereka berkenalan, lantas memadu kasih. Sejak Hani punya kekasih, hubungan aku dengannya menjadi renggang. Kami tak pernah bertemu, apalagi berbincang; hanya sesekali berkirim pesan melalui SMS, itu pun jarang. Ia sibuk dengan urusan asmaranya.

Kendati demikian, aku cukup senang. Pasalnya, itu berarti ia telah menjadi perempuan sebagaimana kodratnya. Didesak oleh rasa rindu—entah rindu sebagai sahabat, atau lebih rumit dari itu—suatu sore aku mengunjunginya.Dan, aku tercengang-bengang saat mendapati ia telah berubah menjadi dara jelita. Inikah keajaiban cinta? Kini dandelion telah bermetamorfosismenjadi sekuntum mawar. Aku mendapati riasan mekap pada wajahnya, aroma parfum dari tubuhnya, serta kulit yang tampak terawat. Pun sekarang ia mengenakan rok. Padahal dulu ia memakai rok hanya saat pergi sekolah.

“Maaf, aku terlalu sibuk,” sesalnya.
“Tak mengapa, aku maklum,” timpalku, “aku kemari hanya ingin bersilaturahmi,sekalian ingin tahu kabarmu.” “Aku baik-baik saja.” “Syukurlah.”
Hani tersenyum. Beberapa jenak suasana menjadi hening.

“Bagaimana kabar kambing-kambingmu? Terus terang, aku rindu saat kita mencari rumput di atas bukit atau di lembah.” Aku memutus keheningan.

“Sudah dijual semua, Mir,” jawab Hani.
Aku terkejut. “Dijual?” “Iya.”
“Kenapa?” “Tidak ada yang mencarikan makanannya.”
“Benar juga, sekarang kamu terlalu cantik untuk mencari rumput.”
Hani hanya tersenyum kecut, kemudian mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Sandi serius kepada Hani. Ia berniat membawa hubungan mereka ke pernikahan. Maka, di suatu kesempatan ia mengajak Hani ke rumahnya untuk diperkenalkan kepada keluarganya. Tentu Hani senang tak alang-kepalang. Orang tua Sandi menerima Hani dengan baik. Bahkan mereka berpesan supaya keduanya segera menikah. Sandi mengatakan bahwa kemungkinan mereka akan menikah pertengahan tahun nanti. Sebagai perempuan, Hani setuju saja.

Selesai itu, Sandi mengantar Hani pulang. Namun sebelumnya ia mengajak Hani mampir ke pul limbah miliknya. Selain ada keperluan, ia bermaksud menunjukkan tempat usahanya pada Hani. Akan tetapi, di tempat itu Hani berjumpa seorang lelaki paruh baya berambut perak yang merupakan salah seorang pekerja di sana. Beberapa saat ia tertegun dengan mata berkaca-kaca. Bermacam perasaan berkelindan dalam hatinya; antara geram, benci, dan iba. Ia mengenal, bahkan sangat mengenal lelaki itu. Tak ingin semakin larut dalam perasaan, Hani meminta lekas diantar pulang.

Sandi menurutinya. Dan, sungguh mengejutkan. Setelah kejadian itu, Hani memutuskan hubungan mereka.
“Kenapa kamu berbuat seperti itu? Kasihan ia,” ujarku setelah mendengar ceritanya.
“Ternyata Bapak bekerja di tempat Sandi,” jawab Hani.
“Maksudmu, bapakmu?” Hani mengangguk.
“Lalu masalahnya apa?” “Aku tak ingin melihat dia. Itu membuatku benci, sakit hati, dan marah.”
“Bukankah kamu bisa menyingkirkannya?” “Lalu membiarkan anak istrinya kelaparan?” timpalnya.
Aku terdiam demi membiarkan ia melanjutkan ucapannya.

“Dulu ia tidak menjalankan tanggung jawabnya pada keluargaku. Aku tak ingin ia melakukan hal yang sama pada keluarga barunya. Tak mengapa aku kehilangan cinta, asalkan Bapak bertanggung jawab kepada keluarganya,” imbuhnya dengan air mata nyaris jatuh dari matanya.
← Kembali
Tidak ada komentar, jadilah orang pertama berkomentar di posting ini..!

UNDER MAINTENANCE


Warning...!!!

Halaman ini di lindungi oleh Admin..

Kembali ke Beranda Atau hubungi FB Admin.

Terimakasih sudah nyasar di mari.